Merangkai Cerita tentang Anies dan Peran Wapres Jusuf Kalla
Tulisan ini lebih sebagai sebuah upaya untuk menemukan jawaban atas kegagalan saya dalam memahami apa sesungguhnya makna "cerita" dari tokoh-tokoh nasional di bawah ini.
Cerita dimulai dari Ketua Umum Partai Amanat Nasional ( PAN) Zulkifli Hasan soal mengapa Anies Baswedan dipilih untuk diusung sebagai calon gubernur pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Singkat cerita, Zulkifli menyebutkan adanya intervensi Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) – seorang tokoh senior nasional dengan pengalamannya luas dan pengaruhnya besar - dalam pencalonan Anies.
"Jam 12 malam sampai jam 1 pagi itu ada intervensinya Pak JK. Saya kan suka terus terang," ucap Ketua MPR RI itu.
"Pak JK boleh enggak ngaku, saya dengar kok teleponnya. Pak JK lah yang meyakinkan sehingga berubahlah," ucap Zulkifli tentang peta sosok kandidat untuk Pilkada DKI Jakarta.
Cerita soal keterlibatan JK dalam urusan pencalonan Anies juga diwarnai komentar dari Sandiaga Uno atau "Bang Sandi", Wakil Gubernur DKI terpilih, pasangan dari "Bang Anies".
Sandiaga menyebut hari-hari saat masih mencari siapa pendampingnya untuk maju pada Pilkada DKI Jakarta 2017 sebagai "masa krusial".
Momen itu akhirnya dilalui dengan memilih mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Rasyid Baswedan, sebagai calon gubernur pendampingnya.
"Saat itu, di 23 September (2016). Jadi 21 sampai 23 September adalah masa-masa yang sangat krusial," kata Sandi saat ditemui di posko pemenangannya, Jakarta Selatan, Rabu (3/5/2017) siang.
Namun Sandi tidak mengungkapkan lebih lanjut cerita di balik “masa krusial” dan cerita soal peran JK yang mendorong pencalonan Anies. Dia hanya menyebut itu sebagai “politik tingkat tinggi”.
Alur cerita yang lain mengenai pencalonan Anies dan keterlibatan JK itu juga datang dari Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais. JK disebut mendorong pencalonan Anies.
Namun, kali ini Amien bercerita dalam konteks masa jabatan gubernur-wakil gubernur, bahwa duet Anies dan Sandiaga harus menyelesaikan masa jabatannya selama lima tahun.
"Saya kira insya Allah duet ini lima tahun ke depan bagus," ujarnya.
Amien menambahkan, sejak awal Anies diusulkan oleh Jusuf Kalla, Anies dinilainya sebagai sosok yang tepat dan tak akan ingkar janji (untuk menuntaskan masa jabatan lima tahun).
"Saya menyerukan apa yang dirasakan Pak Jusuf Kalla, ketika yang dulu itu, Pak Jusuf Kalla mengatakan Pak Jokowi itu pengalamannya Wali Kota Solo, kemudian belum selesai periode kedua ditinggal ke Jakarta," ujar Amien.
"Kemudian Pak JK katakan, 'Pak Jokowi sebaiknya menuntaskan lima tahun jadi gubernur. Kalau udah selesai baru nyapres'. Kalau di tengah jalan belum terbukti tiba-tiba nyapres, kata Pak JK, hancur Indonesia, gitu lho kata Pak JK," ucap Amien.
Pak Wapres JK sendiri kemudian membantah jika disebut mengintervensi pencalonan Anies.
Namun, JK mengakui telah menjalin komunikasi dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto untuk memilih Anies.
JK tak sepakat jika komunikasi yang dilakukannya itu disebut sebagai intervensi untuk mendorong Anies sebagai calon gubernur.
"Kalau orang berbicara, emangnya intervensi? Masa saya tidak bisa bicara. Kalau saya bicara sama Anda, intervensi enggak? Enggak, kan? Kalau orang berbicara kan boleh saja. Apa salahnya? Semua teman saya," kata dia.
JK mengatakan, siapa pun punya hak yang sama untuk memilih dan dipilih dalam kontestasi demokrasi seperti Pemilihan Kepala Daerah.
Sehari sebelum JK berbicara, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon telah membantah adanya intervensi JK dalam pencalonan Anies.
Meski membantah ada intervensi, namun Fadli mengakui membutuhkan dukungan dari banyak pihak dalam pencalonan tersebut, termasuk dari JK.
"Kami kan harus dapat dukungan dari mana-mana saja. Tapi kami berharap termasuk dukungan dari JK dan dari mana-mana bagus kan," ujar Fadli Zon di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (3/5/2017).
Jauh sebelum cerita Zulkifli muncul, yakni pada masa kampanye Pilkada DKI Jakarta, Wapres JK berharap agar salah satu dari dua kader Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) yang bertarung di Pilkada DKI Jakarta dapat keluar sebagai pemenang.
Kedua orang itu adalah adalah Anies Baswedan dan Sylviana Murni.
Hal itu disampaikan Kalla saat menghadiri peringatan HUT ke-50 KAHMI di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (28/9/2016) malam. Baik Anies maupun Sylviana, hadir dalam peringatan HUT tersebut.
"Salah satunya, mudah-mudahan lah (menang)," kata JK.
Sebelum cerita Zulkifli muncul, tepatnya pasca-pemungutan suara pada 19 April, JK bertemu dengan Anies dan Sandiaga setelah pasangan itu unggul Pilkada DKI Jakarta versi hitung cepat dari sejumlah lembaga survei, termasuk dari Litbang Kompas.
Perlakuan JK terhadap Anies berbeda untuk Sandiaga. Pertemuan JK dan Anies dilakukan tertutup di rumah dinas Wapres RI, Kamis (20/4/2017) pagi, sehari setelah pemungutan suara.
Pertemuan itu baru diketahui media massa pada malam harinya, berdasarkan pengakuan Anies sendiri. Anies mengatakan,dia menemui JK karena memiliki hubungan dekat sejak lama.
Secara terpisah, JK mengatakan tidak ada hal istimewa yang dibahas dalam pertemuannya dengan Anies.
"Ya, karena Anies kan teman bekas menteri. Ketemu itu biasa saja, kasih selamat," kata JK di Hotel Shangrila, Jakarta, Jumat (21/4/2017).
Berbeda dari pertemuan dengan Anies yang dilakukan secara tertutup dan empat mata, pertemuan JK dan Sandiaga dilakukan di forum terbuka.
Pada Senin (25/4/2017), keduanya sama-sama menghadiri penutupan Forum Ekonomi Umat yang digelar Majelis Ulama Indonesia (MUI).
JK memuji Sandiaga sebagai sosok pengusaha yang bersikap optimistis. Ia pun mengajak semua peserta kongres untuk mencontoh sikap optimisme Sandiaga.
Rupanya, pertemuan JK dan Sandiaga di acara tersebut bukan kebetulan. Sandiaga mengakui ia diminta untuk mendampingi JK di forum itu.
Lalu, bagaimana kita membaca fakta dan memaknai cerita tokoh-tokoh nasional tersebut di atas?
Dalam hati kecil, Anda mungkin saja bertanya-bertanya, cerita manakah yang sesuai dengan fakta, benar-benar ada, terjadi, dan bukan hoax.
Namun, tidak pantas juga kita mengajukan pertanyaan semacam itu. Sebab, mereka adalah tokoh-tokoh panutan. Cukup dengan mendengarkan saja, memang ceritanya "seperti itu".
Mereka adalah tokoh dan pemimpin nasional, tentu saja, yang karena ketokohannya mereka layak menjadi rujukan berbagai hal, baik dalam tutur kata, tindakan, atau perbutan.
Disebut tokoh nasional karena mereka dianggap pantas dan layak menjadi "fondasi etika berpolitik".
Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia atau cabang filsafat yang membahas prinsip-prinsip moralitas politik (Franz Magnis Suseno, 1991, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern).
Dewasa ini setelah era reformasi pada pertengahan 1998, Indonesia telah memasuki masa transisi dari era otoritarian ke era demokrasi.
Kita telah melakukan banyak perubahan fundamental dalam bidang-bidang kehidupan yang strategis dan vital, termasuk membangun tatanan kehidupan politik baru yang demokratis.
Namun, tatanan kehidupan politik yang demokratis ini, dalam perjalanannya, lambat laun tergerus oleh kepentingan pribadi dan kelompok.
Apakah yang dapat kita katakan jika ada elite lebih mudah menghalalkan segala cara untuk mewujudkan kepentingannya, tidak lagi mengindahkan nilai-nilai etika dan moralitas berpolitik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Kurangnya etika berpolitik yang sering kita jumpai merupakan akibat dari ketiadaan pendidikan politik yang memadai.
Bangsa kita tidak banyak mempunyai guru politik yang baik, yang dapat mengajarkan bagaimana berpolitik tak hanya memperebutkan kekuasaan, namun dengan penghayatan etika dan moral.
Selain itu, kurangnya komunikasi politik juga menjadi penyebab lahirnya elite politik seperti itu, yakni yang tidak mampu menyuarakan kepentingan rakyat.
Namun, juga menghasilkan orang-orang yang cenderung otoriter, termasuk politik kekerasan yang semakin berkembang karena perilaku politik dipandu oleh emosi.
source: kompas
Post a Comment