Setara: Visi Politik Anies Adalah Rasisme



Pidato perdana Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI menimbulkan kontroversi, terutama terkait penggunaan kata 'pribumi'. Setara Institute menyebut pidato tersebut menggambarkan visi politik Anies.

"Menyimak pidato pertama Anies setelah dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta, publik menjadi mafhum bahwa visi politik Anies adalah rasisme. Politisasi identitas bukan hanya untuk menggapai kursi gubernur, tetapi hendak dijadikan landasan memimpin dan membangun Jakarta. Pidato yang penuh paradoks: satu sisi mengutip pernyataan Bung Karno tentang negara semua untuk semua, tapi di sisi lain menggelorakan supremasi etnisitas dengan berkali-kali menegaskan pribumi dan nonpribumi sebagai diksi untuk membedakan sang pemenang dengan yang lainnya," kata Ketua Setara Instutite Hendardi dalam siaran pers ke media, Senin (17/10/2017).

Pada mulanya, menurut Hendardi, banyak pihak yang beranggapan bahwa politisasi identitas agama, ras, dan golongan adalah sebatas strategi destruktif pasangan Anies-Sandi untuk memenangi kontestasi Pilkada DKI Jakarta. Artinya, politisasi identitas itu hanya untuk menundukkan lawan politik dan menghimpun dukungan politik lebih luas hingga memenangi Pilkada. Namun pidato politik Anies mengungkap hal yang lebih besar lagi.

"Pernyataan Anies bukan hanya keluar dari nalar etis seorang pemimpin provinsi melting pot yang plural, tetapi juga membangun segregasi baru atas dasar ras. Kebencian atas ras adalah mula dari suatu praktik genosida, seperti di Myanmar. Genosida tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam bentuk penegasian ras dan etnis lain dalam membangun Jakarta," kata Hendardi.

"Anies bisa dianggap melanggar Instruksi Presiden No. 26/1998 yang pada intinya melarang penggunaan istilah 'pri' dan 'non-pri' untuk menyebut warga negara. Anies juga bisa dikualifikasi melanggar semangat etis UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis," sambungnya.

Bagi Hendardi, seharusnya Anies pada hari pertama bekerja melakukan emotional healing atas keterbelahan warga Jakarta akibat politisasi identitas. Tapi justru Anies mempertegas barikade sosial atas dasar ras dan etnis. "Sosok pemimpin seperti ini tidak kompatibel dengan demokrasi dan Pancasila, karena mengutamakan supremasi golongan dirinya dan mengoyak kemajemukan warga," pungkasnya.

Terkait pidato tersebut, Anies telah menjelaskan konteks pernyataannya. "Itu pada konteks pada era penjajahan. Karena saya menulisnya juga pada zaman penjajahan dulu karena Jakarta itu kota yang paling merasakan," kata Anies kepada wartawan di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (17/10).

"Pokoknya itu digunakan untuk menjelaskan era kolonial Belanda. Jadi Anda baca teks itu bicara era kolonial Belanda, " jelas Anies lagi.

source: detik

No comments

Powered by Blogger.